Powered By Blogger

Kamis, 22 Mei 2014

(Review) Emansipasi Hamidah dalam "Kehilangan Mestika" Oleh: Ratih Risnawati

Judul buku      : Kehilangan Mestika
Penulis             : Fatimah Hasan Delais
Penerbit           : Balai Pustaka
Tahun terbit  : 1935
Tebal                : 75
Fatimah Hasan Delais lahir pada tanggal 8 juni 1914 di Bangka (Palembang). Semasa hidupnya ia bekerja sebagai guru sesudah lepas sekolah Normal Gadis di Padang Panjang.  Selain menulis novel, ia juga menulis puisi yang dimuat dalam Pendji Pustaka dan Pudjangga Baru. Ia meninggal dalam usia 38 tahun, tepat pada
tanggal 8 Mei 1953 di Palembang.
Novel Kehilangan Mestika terbit pertama kali tahun 1935, cetakan ke-2 tahun 1937, cetakan ke-3 tahun 1949, cetakan ke-4 tahun 1955, cetakan ke-5 tahun 1957, dan cetakan ke-6 tahun 1963, masing-masing 10.000 buku. Cetakan ke-4 habis dalam satu tahun saja, sedangkan cetakan ke-6 habis dalam waktu dua tahun. Jelaslah bahwa novel ini sangat digemari dan populer.
Menurut suami Hamidah, Hasan Delais, “dalam suratnya kepada Balai Pustaka tanggal 2 Juni 1954, Kehilangan Mestika dikarang oleh Hamidah tatkala berumur 19 tahun. Mendiang semasa hidupnya bermaksud membuat sebuah buku lagi tapi rupanya tak kesampaian,” demikian Hasan Delais berkata.[1]
"Karena di negeriku akulah pertama sekali membuka pintu pingitan gadis-gadis, maka bermatjamlah tjatjian jang sampai ketelinga kaum keluargaku. Orang negeriku pada masa itu masih terlalu bodoh dan kuno. Tak tahu mereka membedakan jang mana dikatakan adat dan jang mana pula agama.
Kebanjakan dari pada adat jang diadatkan disangkakan mereka sebagian djuga dari pada sjarat agama. Gadis-gadis mesti dipingit, tak boleh kelihatan oleh orang jang bukan sekeluarga lebih-lebih oleh laki-laki. Adat inilah jang lebih dahulu mesti diperangi. Inilah jang kutjita-tjitakan.[2]
Novel ini menggambarkan pentingnya pendidikan dan peran publik perempuan dengan berusaha mencoba melawan budaya patriarki yang membatasi perempuan dalam tradisi pingitan. Di mana Hamidah sebagai tokoh utama melakukan perlawanan terhadap tradisi pingitan. Tradisi  yang mengharuskan perempuan berumur 12 tahun harus tinggal di rumah, sampai mendapat jodoh. Pada masa penjajahan Belanda berlaku adat istiadat feodal di kalangan kaum bangsawan menengah dan atas yang disebut pingitan.[3] Hamidah adalah perempuan di kampungnya yang berani melawan tradisi pingitan dengan melakukan perlawanan itu dengan menempuh pendidikan di Sekolah Normal Putri sampai menjadi guru.
“Akan diriku bersama dengan seorang saudaraku jang lain, meneruskan peladjaran kami kesekolah Normal Putri di Padang Pandjang. Tatkala akan meninggalkan ajah dan kampung halaman jang pertama kali, tambahan pula akan mengarungi lautan jang dalam dan lebar, timbullah kadang-kadang hati jang tjemas. Mulanja malaslah akan berangkat itu, meninggalkan segala jang dikasihi di kampung sendiri. Tetapi ajah jang ingin melihat anaknja mendjadi seorang jang berguna di kemudian hari untuk bangsa dan tanah air, menjuruh dengan tipu muslihat jang amat halus.[4]
Paragraf di atas menggambarkan Hamidah diberi kesempatan oleh ayahnya untuk menempuh pendidikan ke luar daerah. Tidak hanya diberi kesempatan menempuh pendidikan, tetapi juga ia diberi kesempatan mengembangkan dirinya karena ayah Hamidah ingin melihat anaknya berguna bagi bangsa dan tanah air.
Emansipasi yang dilakukan Hamidah setelah lulus dari sekolahnya ialah mengabdikan dirinya menjadi seorang guru. Hamidah memiliki kesadaran yang tinggi dengan memberikan pendidikan untuk masyarakat sekitarnya. Ia mengadakan kegiatan sosial, yaitu mengajarkan membaca dan menulis di kampung halamannya. Tidak hanya mengajarkan membaca dan menulis saja, tetapi ia juga menggerakan perempuan untuk aktif dalam organisasi.



[1] Artikel dari dokumentasi sastra H.B Jassin
[2] Hamidah. Kehilangan Mestika. (Jakarta: Balai Pustaka, 1935), hlm. 14
[3] Sitisoemandari, Soeroto. Kartini: Sebuah Biografi. ( Jakarta: Gunung Agung, 2001), hlm. 4
[4] Hamidah. Kehilangan Mestika. (Jakarta: Balai Pustaka, 1935), hlm. 3-4

Tidak ada komentar:

Posting Komentar