Judul buku : Kehilangan Mestika
Penulis : Fatimah Hasan Delais
Penerbit : Balai Pustaka
Tahun terbit : 1935
Tebal :
75
Fatimah
Hasan Delais lahir pada tanggal 8 juni 1914 di Bangka (Palembang). Semasa
hidupnya ia bekerja sebagai guru sesudah lepas sekolah Normal Gadis di Padang
Panjang. Selain menulis novel, ia juga
menulis puisi yang dimuat dalam Pendji Pustaka dan Pudjangga Baru. Ia meninggal
dalam usia 38 tahun, tepat pada
tanggal 8 Mei 1953 di Palembang.
Novel
Kehilangan Mestika terbit pertama
kali tahun 1935, cetakan ke-2 tahun 1937, cetakan ke-3 tahun 1949, cetakan ke-4
tahun 1955, cetakan ke-5 tahun 1957, dan cetakan ke-6 tahun 1963, masing-masing
10.000 buku. Cetakan ke-4 habis dalam satu tahun saja, sedangkan cetakan ke-6
habis dalam waktu dua tahun. Jelaslah bahwa novel ini sangat digemari dan
populer.
Menurut suami Hamidah, Hasan Delais,
“dalam suratnya kepada Balai Pustaka tanggal 2 Juni 1954, Kehilangan Mestika dikarang oleh Hamidah tatkala berumur 19 tahun.
Mendiang semasa hidupnya bermaksud membuat sebuah buku lagi tapi rupanya tak
kesampaian,” demikian Hasan Delais berkata.[1]
"Karena
di negeriku akulah pertama sekali membuka pintu pingitan gadis-gadis, maka
bermatjamlah tjatjian jang sampai ketelinga kaum keluargaku. Orang negeriku pada
masa itu masih terlalu bodoh dan kuno. Tak tahu mereka membedakan jang mana dikatakan
adat dan jang mana pula agama.
Kebanjakan dari pada adat jang diadatkan disangkakan
mereka sebagian djuga dari pada sjarat agama. Gadis-gadis mesti dipingit, tak
boleh kelihatan oleh orang jang bukan sekeluarga lebih-lebih oleh laki-laki. Adat
inilah jang lebih dahulu mesti diperangi. Inilah jang kutjita-tjitakan.[2]
Novel ini menggambarkan pentingnya
pendidikan dan peran publik perempuan dengan berusaha mencoba melawan budaya
patriarki yang membatasi perempuan dalam tradisi pingitan. Di mana Hamidah
sebagai tokoh utama melakukan perlawanan terhadap tradisi pingitan.
Tradisi yang mengharuskan perempuan
berumur 12 tahun harus tinggal di rumah, sampai mendapat jodoh. Pada masa penjajahan
Belanda berlaku adat istiadat feodal di kalangan kaum bangsawan menengah dan
atas yang disebut pingitan.[3] Hamidah
adalah perempuan di kampungnya yang berani melawan tradisi pingitan dengan melakukan
perlawanan itu dengan menempuh pendidikan di Sekolah Normal Putri sampai
menjadi guru.
“Akan diriku bersama dengan seorang saudaraku jang
lain, meneruskan peladjaran kami kesekolah Normal Putri di Padang Pandjang.
Tatkala akan meninggalkan ajah dan kampung halaman jang pertama kali, tambahan
pula akan mengarungi lautan jang dalam dan lebar, timbullah kadang-kadang hati
jang tjemas. Mulanja malaslah akan berangkat itu, meninggalkan segala jang
dikasihi di kampung sendiri. Tetapi ajah jang ingin melihat anaknja mendjadi
seorang jang berguna di kemudian hari untuk bangsa dan tanah air, menjuruh
dengan tipu muslihat jang amat halus.[4]
Paragraf
di atas menggambarkan Hamidah diberi kesempatan oleh ayahnya untuk menempuh
pendidikan ke luar daerah. Tidak hanya diberi kesempatan menempuh pendidikan,
tetapi juga ia diberi kesempatan mengembangkan dirinya karena ayah Hamidah
ingin melihat anaknya berguna bagi bangsa dan tanah air.
Emansipasi
yang dilakukan Hamidah setelah lulus dari sekolahnya ialah mengabdikan dirinya
menjadi seorang guru. Hamidah memiliki kesadaran yang tinggi dengan memberikan
pendidikan untuk masyarakat sekitarnya. Ia mengadakan kegiatan sosial, yaitu mengajarkan
membaca dan menulis di kampung halamannya. Tidak hanya mengajarkan membaca dan
menulis saja, tetapi ia juga menggerakan perempuan untuk aktif dalam organisasi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar